UPDATEINDONESIA.COM- Sempat tak dilirik sejak 1998 akibat kualitas tak mampu bersaing. Kini Aspal Buton mendapat angin segar. Itu setelah Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia tidak lagi mengimpor aspal untuk kebutuhan dalam negeri pada 2024 mendatang.
"Sudah diputuskan, dua tahun kedepan tidak ada lagi impor aspal. Semuanya harus dialihkan ke Buton,” tegas Presiden Jokowi ketika mengunjungi Pabrik Aspal Wijaya Karya (Wika) Bitumen di Lawele, Buton pada 27 September lalu, sebagaimana dilansir indonesia.go.id
Konon, Indonesia saat ini masih bergantung terhadap impor aspal sekitar 75 persen untuk dalam kebutuhan dalam negeri. Padahal, cadangan aspal yang terdapat di Buton bisa mencapai 663-670 juta ton yang setara dengan penggunaan selama 100 tahun. Nilai impornya hampir USD700 juta.
Berdasarkan data Asosiasi Pengembang Aspal Buton Indonesia (ASPABI), total konsumsi dalam negeri asbuton periode 2007-2018 baru sebesar 407.840 ton, atau sama dengan 0,06 persen dari cadangan deposit cadangan aspal di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Padahal sekarang ini Indonesia sedang gencar membangun infrastruktur nasional dan diperkirakan membutuhkan aspal sekitar 4 sampai 5 juta ton per tahun. Sebuah hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan, aspal Buton bisa habis dalam 300 tahun jika diproduksi 1 juta ton per tahun.
Presiden Jokowi pun berharap ada percepatan dan pemanfaatan produk aspal Buton untuk kebutuhan dalam negeri. Pemerintah juga meminta kualitas aspal sudah berupa produk jadi yang bisa langsung dituangkan di jalan raya saat meninggalkan Pulau Buton.
“Mau BUMN, swasta silahkan kelolah, join dengan asing. Kita harapkan, Buton hidup kembali sebagai industri penghasil aspal, bukan tambang,” pintah Presiden Jokowi.
Asbuton diklaim sebagai harta karung Indonesia dengan deposit diperkirakan mencapai 663 juta ton dengan kandungan bitumen sekitar 132 juta ton. Potensi itu tersebar di Kabupaten Buton dan Buton Utara. Di Kabupaten Buton, misalnya, aspal menghampar di kawasan seluas 43.000 hektare, berada di kedalaman sekitar 1.000 meter.
Utamanya di lembah yang membentang sepanjang 75 kilometer dari Teluk Sampolawa hingga Teluk Lawele. Lumpur aspal ini berada di lembah di bawah lereng perbukitan. Deposit lumpur aspal rata-rata berada 4 meter, dengan variasi 1–17 meter, di bawah permukaan tanah. Kandungan aspalnya pun bervariasi. Ada yang hanya 10 persen dan yang tertinggi 50 persen.
Sejak ditemukan pada awal 1920-an, penggunaan aspal buton sebagai aspal olahan belum sampai 5 juta ton. Produksi terbesar terjadi pada 1987-an, yakni 350 ribu ton per tahun, dan 1993-1994 sebesar 200 ribu ton. Setelah itu merosot. Pada 2018, penggunaan asbuton kembali dilakukan pada jalan sepanjang 709 kilometer yang tersebar di berbagai provinsi.
Sedari dulu, pengembangan berbagai produk aspal Buton dilakukan PT Wika Bitumen, anak perusahaan Wijaya Karya (BUMN). Antara lain Lawele Grabular Asphalt (LGA) yang kualitasnya diklaim seimbang aspek keras dan lenturnya.
Lalu Asbuton Granular Filler (AGF) untuk arus lalu lintas tinggi, AAF (Asbuton Active Filler) untuk hotmix, dan Asbuton Instant Concrete (AIC) yang bisa dihamparkan di jalan tanpa harus dipanaskan.
Sayang, kebanyakan kontraktor lebih memilih aspal minyak, yakni aspal dari produk samping dari Industri pengolahan minyak bumi menjadi BBM. Karena dinilai memberi kesan mulus dan lentur.
Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Aspal Buton Indonesia (ASPABI), Dwi Putranto, usulan pemakaian asbuton akan terus ditingkatkan dalam waktu 5 tahun ke depan.
Sebab, kebutuhan aspal untuk pembangunan jalan nasional diperkirakan meningkat dari 70.000-400.000 ton hingga tahun 2023. Begitupun jumlah asbuton juga akan ditingkatkan dari 200.000 ton menjadi 3.400.000 di tahun 2023 dan substitusi terhadap aspal minyak sebesar 25 persen setiap tahun.
“Kapasitas produksi aspal Buton olahan di bawah naungan ASPABI mencapai 2.000.000 ton per tahun. Sedangkan realisasi penjualan aspal Buton olahan tahun 2021 total hanya 58.000 ton atau sekitar 3% dari kapasitas pabrik yang ada,” pungkasnya.
Hal tersebut membuat industri Sumber Daya Alam (SDA) asli Sultra yang dibanggakan itu mengalami keterpurukan karena hampir tidak digunakan di daerah asalnya. Padahal, secara regulasi pemerintah terhadap pemanfaatan aspal Buton sudah sangat kuat.
Baik melalui Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 18 tahun 2018 menjadi acuan teknis penggunaan aspal Buton untuk pembangunan dan preservasi jalan, baik Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Kemudian, Permendagri Nomor 27 tahun 2021 sebagai pedoman dalam penyusunan APBD Provinsi/Kabupaten/Kota sudah mengamanatkan pengoptimalan dan peningkatan penggunaan aspal Buton.
Lalu, Permen PUPR Nomor 5 tahun 2021 juga telah menegaskan peningkatan dan kewajiban penggunaan aspal Buton untuk pembangunan dan preservasi jalan Provinsi/Kabupaten/Kota yang dibiayai Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Jalan.
Khusus Provinsi Sultra, Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Gubernur Sultra telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Sultra Nomor 2 tahun 2016 dan SK Gubernur Sultra Nomor 412 Tahun 2020 yang mewajibkan seluruh Kabupaten dan Kota di Provinsi Sultra untuk menggunakan aspal Buton.
Sedangkan secara teknis, seluruh jenis konstruksi aspal Buton telah memiliki spesifikasi yang termuat dalam Spesifikasi Umum 2018 Revisi 2 yang diterbitkan Bina Marga PUPR. Produk Aspal Buton olahan juga telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI).
Aspal Buton murni yang telah dipisahkan dari mineral lainnya memiliki kualitas yang jauh di atas Aspal Pen 60/70, yaitu setara dengan aspal modifikasi PG 70, yang cocok digunakan di jalan berlalu-lintas berat. (*)